Minggu, 27 Januari 2008

Wisata Ziarah di Purworejo

Wisata Ziarah di Purworejo

MENENGOK Kab. Purworejo, bagaikan membaca ulang kisah patriotik penyebaran agama Isalam dan tokoh Islam terkemuka. Tak heran, di kota berusia 1.105 tahun itu, banyak ditemukan lokasi wisata ziarah. Alasannya jelas, banyak makam para pemimpin Islam dan tokoh agama yang dianggap berpengaruh. Sebut saja Makam Mbah Kyai Ahmad Alim Bulus, Habib Abdullah Bafagih, Habib Zein Baraqbah, Kyai Tumenggung Kasan Munadi Samparwadi, Kyai Imam Poera, Eyang Giri Sumantoko, Eyang Zarkasih.
Begitu pula masjid bersejarah dan peninggalan masa lalu yang dibuat sekitar tahun 1600-an, dengan arsitektur kuno elegan dapat ditemukan utuh. Bahkan, pengunjung bisa mendengarkan kisah pendiri masjid itu melalui juru kunci masjid, yang umumnya dijabat turun-temurun. Misalnya Masjid Loano, Masjid Santren Bagelen. Masjid Loano sangat unik, didirikan Sunan Geseng murid Sunan Kalijaga, dibangun sebelum Masjid Demak. Loano dulunya sebuah kerajaan yang jaya di masa Kerajaan Pajajaran hingga Kerajaan Mataram.
Keistimewaannya, selain tiang penyangga masih asli dengan gaya masa lalu, kayu bagian atas menyimpan guratan berbahasa Arab tentang doa dalam salat, Masjid Loano juga pada bagian puncak bangunan masjid ada Mustaka dan kayu petunjuk yang dapat berubah-ubah. Konon, perubahan kayu petunjuk menunjukkan tempat adanya musibah di Indonesia.
Sementara Santren Bagelen, adalah masjid hadiah Sultan Agung kepada Kyai Badlowi, dibangun tahun 1618 dan memiliki arsitektur Jawa dengan atap Tajuk Tumpang Satu. Satu lagi Masjid Agung Kadipaten Darul Muttaqien (Masjid Kauman), dibangun hari Ahad 2 bulan Besar Tahun Alip 1762 Jawa, bertepatan dengan 16 April 1834 Masehi. Dibangun bupati pertama, Raden Corkronegoro I, (menjabat 1831-1856).
Arsitektur Masjid Agung arsitektur Jawa berbentuk Tanjung Lawakan lambang Teplok, bahan tiang utamanya dari jati. Mempunyai cabang lima buah dengan diameter lebih 200 cm dan tingginya puluhan meter. Uniknya, dilengkapi beduk raksasa yang sengaja dibuat Cokronegoro I, untuk memberitahukan warga jadwal salat.
Beduk terbuat dari jati yang tumbuh di Dusun Pendowo, Desa Bragolan, Kec. Purwodadi. Panjang 292 cm, keliling bagian depan 601 cm, keliling belakang 564 cm, diameter depan 194 cm, diameter belakang 180 cm.
Jumlah paku bagian belakang 98 buah, paku depan 120 buah. Kulit yang ditabuh dari kulit banteng. Beduk Pendowo itu dipakai tiap hari Jumat dan hari besar. Hampir tiap pagi selepas Subuh, banyak orang sengaja melihat-lihat bahkan meraba-raba beduk raksasa itu. (Teguh/"PR")***

Prasasti Kayu Ara Hiwang


Posted on September 21st, 2007 by wartabagelen

Hamparan wilayah yang subur di Jawa Tengah Selatan antara Sungai Progo dan Cingcingguling sejak jaman dahulu kala merupakan kawasan yang dikenal sebagai wilayah yang masuk Kerajaan Galuh. Oleh karena itu menurut Profesor Purbocaraka, wilayah tersebut disebut sebagai wilayah Pagaluhan dan kalau diartikan dalam bahasa Jawa, dinamakan : Pagalihan. Dari nama “Pagalihan” ini lama-lama berubah menjadi : Pagelen dan terakhir menjadi Bagelen. Di kawasan tersebut mengalir sungai yang besar, yang waktu itu dikenal sebagai sungai Watukuro. Nama “ Watukuro “ sampai sekarang masih tersisa dan menjadi nama sebuah desa terletak di tepi sungai dekat muara, masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Di kawasan lembah sungai Watukuro masyarakatnya hidup makmur dengan mata pencaharian pokok dalam bidang pertanian yang maju dengan kebudayaan yang tinggi.
Pada bulan Asuji tahun Saka 823 hari ke 5, paro peteng, Vurukung, Senin Pahing (Wuku) Mrgasira, bersamaan dengan Siva, atau tanggal   5 Oktober 901 Masehi, terjadilah suatu peristiwa penting, pematokan Tanah Perdikan (Shima). Peristiwa ini dikukuhkan dengan sebuah prasasti batu andesit yang dikenal sebagai prasasti Boro Tengah atau Prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti yang ditemukan di bawah pohon Sono di dusun Boro tengah, sekarang masuk wilayah desa Boro Wetan Kecamatan Banyuurip dan sejak tahun 1890 disimpan di Museum Nasional Jakarta Inventaris D 78 Lokasi temuan tersebut terletak di tepi sungai Bogowonto, seberang Pom Bensin Boro.
Dalam Prasasti Boro tengah atau Kayu Ara Hiwang tersebut diungkapkan, bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 Masehi, telah diadakan upacara besar yang dihadiri berbagai pejabat dari berbagai daerah, dan menyebut-nyebut nama seorang tokoh, yakni : Sang Ratu Bajra, yang diduga adalah Rakryan Mahamantri/Mapatih Hino Sri Daksottama Bahubajrapratipaksaya atau Daksa yang di identifikasi sebagai adik ipar Rakal Watukura Dyah Balitung dan dikemudian hari memang naik tahta sebagai raja pengganti iparnya itu.
Pematokan (peresmian) tanah perdikan (Shima) Kayu Ara Hiwang dilakukan oleh seorang pangeran, yakni Dyah Sala (Mala), putera Sang Bajra yang berkedudukan di Parivutan.
Pematokan tersebut menandai, desa Kayu Ara Hiwang dijadikan Tanah Perdikan(Shima) dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, namun ditugaskan untuk memelihara tempat suci yang disebutkan sebagai “parahiyangan”. Atau para hyang berada.
Dalam peristiwa tersebut dilakukan pensucian segala sesuatu kejelekan yang ada di wilayah Kayu Ara Hiwang yang masuk dalam wilayah Watu Tihang.
“ … Tatkala Rake Wanua Poh Dyah Sala Wka sang Ratu Bajra anak wanua I Pariwutan sumusuk ikanang wanua I Kayu Ara Hiwang watak Watu Tihang …”
Wilayah yang dijadikan tanah perdikan tersebut juga meliputi segala sesuatu yang dimiliki oleh desa Kayu Ara Hiwang antara lain sawah, padang rumput, para petugas (Katika), guha, tanah garapan (Katagan), sawah tadah hujan (gaga).
Disebut-sebutnya “guha” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang tersebut ada dugaan, bahwa guha yang dimaksud adalah gua Seplawan, karena di dekat mulut gua Seplawan memang terdapat bangunan suci Candi Ganda Arum, candi yang berbau harum ketika yoninya diangkat. Sedangkan di dalam gua tersebut ditemukan pula sepasang arca emas dan perangkat upacara. Sehingga lokasi kompleks gua Seplawan di duga kuat adalah apa yang dimaksud sebagai “parahyangan” dalam prasasti Kayu Ara Hiwang.
Upacara 5 Oktober 901 M di Boro Tengah tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 15 pejabat dari berbagai daerah, antara lain disebutkan nama-nama wilayah : Watu Tihang (Sala Tihang), Gulak, Parangran Wadihadi, Padamuan (Prambanan), Mantyasih (Meteseh Magelang), Mdang, Pupur, Taji (Taji Prambanan) Pakambingan, Kalungan (kalongan, Loano).
Kepada para pejabat tersebut diserahkan pula pasek-pasek berupa kain batik ganja haji patra sisi, emas dan perak. Peristiwa 5 Otober 901 M tersebut akhirnya pada tanggal 5 Oktober 1994 dalam sidang DPRD Kabupaten Purworejo dipilih dan ditetapkan untuk dijadikan Hari jadi Kabupaten Purworejo. Normatif, historis, politis dan budaya lokal dari norma yang ditetapkan oleh panitia, yakni antara lain berdasarkan pandangan Indonesia Sentris.
Perlu dicatat, bahwa sejak jaman dahulu wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Tanah Bagelen. Kawasan yang sangat disegani oleh wilayah lain, karena dalam sejarah mencatat sejumlah tokoh. Misalnya dalam pengembangan agama islam di Jawa Tengah Selatan, tokoh Sunan Geseng diknal sebagai muballigh besar yang meng-Islam-kan wilayah dari timur sungai Lukola dan pengaruhnya sampai ke daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupatn Magelang.
Dalam pembentukan kerajaan Mataram Islam, para Kenthol Bagelen adalah pasukan andalan dari Sutawijaya yang kemudian setelah bertahta bergelar Panembahan Senapati. Dalam sejarah tercatat bahwa Kenthol Bagelen sangat berperan dalam berbagai operasi militer sehingga nama Begelen sangat disegani.
Paska Perang Jawa, kawasan Kedu Selatan yang dikenal sebagai Tanah Bagelen dijadikn Karesidenan Bagelen dengan Ibukota di Purworejo, sebuah kota baru gabungan dari 2 kota kuno, Kedungkebo dan Brengkelan.
Pada periode Karesidenan Begelen ini, muncul pula tokoh muballigh Kyai Imam Pura yang punya pengaruh sampai ke Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hampir bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh Kyai Sadrach, penginjil Kristen plopor Gereja Kristen Jawa (GKJ).
Dalam perjalanan sejarah, akibat ikut campur tangannya pihak Belanda dalam bentrokan antara para bangsawan kerajaan Mataram, maka wilayah Mataram dipecah mejadi dua kerajaan. Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Tanah Bagelen akibat Perjanjian Giyanti 13 pebruari 1755 tersebut sebagai wilayah Negara Gung juga dibagi, sebagian masuk ke Surakarta dan sebagian lagi masuk ke Yogyakarta, namun pembagian ini tidak jelas batasnya sehingga oleh para ahli dinilai sangat rancu diupamakan sebagai campur baur seperti “rujak”.
Dalam Perang Diponegoro abad ke XIX, wilayah Tanah Bagelen menjadi ajang pertempuran karena pangeran Diponegoro mndapat dukungan luas dari masyarakat setempat. Pada Perang Diponegoro itu, wilayah Bagelen dijadikan karesidenan dan masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda dengan ibukotanya Kota Purworejo. Wilayah karesidenan Bagelen dibagi menjadi beberapa kadipaten, antara lain kadipaten Semawung (Kutoarjo) dan Kadipaten Purworejo dipimpin oleh Bupati Pertama Raden Adipati Cokronegoro Pertama. Dalam perkembangannya, Kadipaten Semawung (Kutoarjo) kemudian digabung masuk wilayah Kadipaten Purworejo.
Dengan pertimbangan strategi jangka panjang, mulai 1 Agustus 1901, Karesienan Bagelen dihapus dan digabungkan pada karesidenan kedu. Kota Purworejo yang semula Ibu Kota Karesidenan Bagelen, statusnya menjadi Ibukota Kabupaten.
Tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia belanda merubah administrasi pemerintah di Kedu Selatan, Kabupaten Karanganyar dan Ambal digabungkan menjdi satu dengan kebumen dan menjadi Kabupaten kebumen. Sedangkan Kabupaten Kutoarjo juga digabungkan dengan Purworejo, ditambah sejumlah wilayah yang dahulu masuk administrasi Kabupaten Urut Sewu/Ledok menjadi Kabupaten Purworejo. Sedangkan kabupaten Ledok yang semula bernama Urut Sewu menjadi Kabupaten Wonosobo.
Dalam perkembangan sejarahnya Kabupaten Purworejo dikenal sebagai pelopor di bidang pendidikan dan dikenal sebagai wilayah yang menghasilkan tenaga kerja di bidang pendidikan, pertanian dan militer.
Tokoh-tokoh yang muncul antara lain WR Supratman Komponis lagu Kebangsaan “Indonesia raya”. Jenderal Urip Sumoharjo, Jenderal A. Yani, Sarwo Edy Wibowo dan sebagainya.
Para tokoh maupun tenaga kerja di bidang pertanian pendidikan, militer, seniman dan pekerja lainnya oleh masyarakat luas di tanah air dikenal sebagai orang-orang Bagelen, nama kebangsaan dan yang disegani baik di dalam maupun di luar negeri.

Sejarah Tari Dolalak Purworejo


Kata dolalak konon masyarakat Purworejo mengatakan bhawa kata dolalak berasal dari kata do la la ya itu ucapan notasi lagu diatonis yang dinyanyikan oleh serdadu - serdadu Belanda dalam tangsi, yang dominan dinyanyikan sambil menari - nari. Ucapan do la la yaitu dari lagu 1 - 6 - 6, oleh orang - orang Purworejo yang dekat dengan tangsi ditirukan menjadi dolalak, trmasuk meniru gerakan dan motif busana yang dipakai serdadu Belanda yang akhirnya menjadi kesenian rakyat Purworejo. Asal -Usul kesenian sdolalak konn ditemukan oleh 3 santri yang masih bersaudara yang menirukan gerak yang ditarikan serdadu Belanda. Mereka itu adalah Rejotaruno, Duliyat,dan Ronodimejo. Kira - kira pada tahun 1925 ketiga santi itu brsama masyarakat yang pernah menjadi serdadu Belanda membentuk Kesenian dolalak. Awalnya kesaenian dolalak tidak diiringi dengan instrumen musik namun cukup dengan vokal yang dinyankan silih berganti oleh para penari secar bergantian. Perkembangan selanjutnya masyarakt mulai menyukai kesenian tersebut, dan selanjutnya tarian dolalak diberi instrumen iringan dengan lagu - lagu tembang jawa dan lagu solawatan. mwemasuki dasawarsa ke- 5 abad XX kesenian dolalak ditarikan oleh kaum pria dan terbatas wilayah tertentu.Namun mnmasuki dasawarsa ke- 7 abad XX pertunjukan dolalak sudah boleh ditarikan oleh wanita. Dan penyebaranya sudah meluas sampai seluruh wilayah Purworejo. Di,ulai dari desa Kaligoro terus merembes kedaerah Kaligesing dan hampir diseluruh wiyah kecamatan kaligesing timbul kesenian dolalak. Berangkat dari kecamatan Keligesing, kesenian dolalak berkembang masuk sampai kota purworejao dan menjadi tontonan / pertunjukan rakyat kota yang menarik dan sangat digemari keh penduduk kota Purworejo. Semua lapisan masyarkat se Kabupaten Purworejo menilai bahwa pertunjukan tarian dolalak merupaka pertunjukan rakyat yang sehat. Masyarakat dan pemarintah senatiasa berupaya melestarikan, mengwenbangkan, meningkatkan, dan menyebarluaskan kesenian dolalak sesuai dan selaras dengan kemajuan jaman. Kesenian dolalak merupakan sarana dan media pengumpulan masa, sekaligus sebagai hiburan yang sehat, murah dan meriah. Iringan instrumen musik adalah beduk, terbang, kendang , kecer, kentongn, pianika / urgan. tata busana penari memakai kaos kaki dan topi pet berikut slempang yang sudah dimodifikasi sesuai penari yang dewasa ini sudah tidk ditarika \oleh pria lagi tetapi wanita. Syair lagu menggunakan bahasa indinesia dan jawa yang romantis. Properti penari biasanya kaca mata hitam dan digunnakan penari wanita saat trace / kemasukan / mendem. agar penari tampak cantik dan trendy. pengguanaan sledang awalnya hanya di lilitkan pada pinggang namun sekarang sudah menggunakan sanmpur cendala giri yang diikatkan di depan merupakan alat sabet kana / kiri lazimnya orang menari. Kesenian dolaka merupakan hiburan / tontonan yabg meriah dan senantiasa menjadi kebanggaan masyarakat Purworejo. faktor pendukung dari adanya tarian dolalak wanit adalah baik kalangan pejabat, pernagkat, kaya, miskin, agama, umur, pedagang, petani, remaja, pelajar, mahasiswa, laki - laki, wanita sangat menyukai tari dolalak tersebut. Sedang faktor pemhhambat dari masyarakat sanat tipis karena petunjukan kesenian dolalak sangat diminati penonton bahkan kuat sampai semalan suntuk sama halnya dengan wayang.

Sejarah Masjid Agung Purworejo

Bedhug terbesar di Indonesia


Di sebelah barat alun-alun besar Kabupaten Purworejo, suatu ketika berdirilah masjid besar dan agung yang merupakan kebanggaan seluruh umat Islam Purworejo hingga kini. Masjid yang diberi nama Masjid Agung Kabupaten Purworejo ini menempati tanah wakaf seluas kurang lebih 70 x 80 m2 dengan ukuran 21 x 22 m2 ditambah gandok berukuran ± 10 x 21 m2. Menurut sejarah, setelah berakhirnya Perang Diponegoro (1825 – 1830), Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu mengangkat pemimpin dari kalangan pribumi untuk memerintah wilayah Tanah Bagelen (Purworejo sekarang). Sebagai Bupati kemudian diangkat Kangjeng Raden Tumenggung Cokronegoro I dan jabatan pepatih (pembantu Bupati) dipercayakan kepada Raden Cokrojoyo. Pada masa pemerintahan Bupati Cokronegoro I ini mulai dibangun beberapa gedung (gedhung) terutama untuk memperlancar kegiatan-kegiatan pemerintahan. Di sebelah utara alum-alun didirikan Gedung Kabupaten beserta Pendhapa Agengnya untuk tempat bersidang. Gedhung yang terdiri dari dua buah bangunan ini disebut paseban, yaitu tempat para abdi Kabupaten, Lurah dan rakyat menungg panggilan menghadap ke Kabupaten. Beberapa saat kemudian atas perintah Bupati Cokro I dibangun pula Masjid Agung Kabupaten Purworejo untuk tempat ibadah. Masjid ini berdasarkan tulisan dalam Prasasti yang ditempelkan di atas pintu utamanya, selesai di bangun pada tahun Jawa 1762 atau tahun 1834 Masehi. Ada beberapa alasan mengapa letak bangunan masjid harus berada di kota Purworejo. Salah satu alasannya bahwa Kota Purworejo terletak di daerah yang dikelilingi oleh perbukitan, yiatu bukit Menoreh di sebelah timur, bukit Geger Menjangan di sebelah utara, dan Gunung Pupur di sebelah Barat. Alasan lainnya bahwa Kota Purworejo berada diantara dua aliran sungai, yaitu Kali Bogowonto dan Kali Jali dengan latar belakang Gunung Sumbing. Dalam ilmu kalang (Kawruh Kalang) yaitu ilmu kejawen yang mempelajari pengetahuan masalah perencanaan dan pembuatan bangunan jawa, letak tanah pada keadaan demikian disebut "Tanah Sungsang Buwana" atau "Kawula Katubing Kala". Orang-orang Tanah Bagelen ketika itu percaya bahwa apabila sebuah bangunan didirikan pada letak Tanah Sungsang Buwana, maka orang-orang yang mendiami atau menggunakannya akan disegani dan dicintai oleh banyak orang atau menjadi kepercayaan para pembesar. Setelah masjid dibangun lalu muncul ide baru dari Bupati Cokronegoro I untuk melengkapinya dengan sebuah Bedug yang harus dibuat istimewa sehingga menjadi tanda peringatan di kemudian hari. Keberadaan Bedug menurut Bupati Cokronegoro I sangat diperlukan adik sang Bupati yaitu Mas Tumenggung Prawironegoro Wedana Bragolan, disarankan agar bahan Bedug dibuat dari pangkal (bongkot) pohon Jati. Bahan baku dari pohon jati tadi sesungguhnya berasal dari Dukuh Pendowo, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo. Dari cerita lisan yang turun temurun, pohon-pohon jati yang terdapat di Dukuh Pendowo telah berusia ratusan tahun dengan ukuran besar-besar bahkan ada yang bercabang lima. Dalam ilmu kejawen, pohon-pohon jati besar bercabang lima yang disebut Pendowo mengandung sifat perkasa dan berwibawa. Pembuatan Bedug yang dikenal sebagai Bedug Kyai Bagelen (Bedug Pendhawa) ini diperkirakan dilakukan pada tahun jawa 1762 atau tahun 1834 masehi bersamaan dengan selesainya pendirian bangunan Masjid Agung. Cara pembuatan bedug ini dimulai dengan menghaluskan permukaan bongkot kayu jati, kemudian bagian tengahnya dilubangi hingga tembus dari ujung ke ujung (growong) dan dihaluskan kembali. Sebagai penutup bedug, mula-mula digunakan bahan dari kulit banteng. Akan tetapi, setelah 102 tahun kemudian (3 mei 1936) kulit bedug bagian belakang mengalami kerusakan sehingga diganti dengan kulit sapi ongale (benggala) dan sapi pemacek yang berasal dari Desa Winong, Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo. Sedangkan di dalam Bedug Kyai Bagelen di pasang sebuah gong besar yang berfungsi untuk menambah getaran dan bunyi (anggreng). Ada persoalan baru ketika bedug selesai dibuat, yaitu persoalan pemindahan dari Dukuh Pendowo (Jenar) ke Kota Purworejo, seperti diketahui, jarak Pendowo - Purworejo cukup jauh yaitu sekitar 9 kilometer dengan kondisi jalan yang sangat sukar dilalui. Untuk mengatasi persoalan ini tentunya dibutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai kelebihan, kebijaksanaan dan keberanian di dalam menjalankan tugas. Bupati Cokronegoro I atas usul adiknya Raden Tumenggung Prawironegoro mengangkat Kyai Haji Muhammad Irsyad yang menjabat sebagai Kaum (Lebai/Naib) di desa Solotiyang, Kecamatan Loano untuk mengepalai proyek pemindahan Bedug Kyai Bagelan. Atas kepemimpinan Bedug sang Kyai, saat itu oleh para pekerja diangkat secara beramai-ramai diiringi bunyi gamelan lengkap dengan penari tayub yang telah menanti di setiap pos perhentian. Akhirnya setelah melalui perjalanan yang jauh dan melelahkan, Bedug Kyai Bagelen tiba di Masjid Agung Kabupaten Purworejo. Kini, Bedug kyai Bagelen diletakkan di sebelah dalam serambi Masjid. Barang siapa ingin mendengar suaranya, datanglah pada saat Ashar, Maghrib, Isya, Subuh dan menjelang shalat Jum'at. Di samping itu, pada setiap saat menjelang sholat Sunat Idul Fitri dan Idul Adha, acara-acara atau peristiwa-peristiwa keagamaan Islam dan memperingati detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bedug Kyai bagelen selalu ditabuh untuk memberi tanda dan penghormatan.

Data-data teknis Bedug kyai Bagelen:- Panjang rata-rata = 292 centimeter- Garis tengah bagian depan = 194 centimeter- Garis tengah bagian belakang = 180 centimeter- Keliling bagian depan = 601 centimeter- Keliling bagian belakang = 564 centimeter

Sejarah Purworejo

Sejarah Purworejo
.fullpost{display:inline;}

Kabupaten Purworejo memiliki sejarah yang sangat tua, dimulai dari zaman Megalitik disinyalir telah ada kehidupan dengan komunitas pertanian yang teratur, terbukti dengan sejumlah peninggalan sejarah di masa MEGALITH berupa MENHIR Batu Tegak di sejumlah wilayah Kecamatan di Kabupaten Purworejo. Ketika zaman Hindu Klasik, kawasan Tanah Bagelen berperan besar dalam perjalanan sejarah Kerajaan Mataram Kuno (Hindu). Tokoh Sri Maharaja Balitung Watukoro dikenal sebagai Maharaja Mataram Kuno terbesar, dengan wilayah kekuasaan meliputi : Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa Wilayah Luar Jawa.Prof. Purbacaraka menyatakan bahwa Sri Maharaja Balitung Watukoro berasal dari daerah Bagelen. Indikasi ini tercermin pada nama "Watukoro" yang menjadi nama sebuah Sungai Besar, Sungai ini disebut juga dengan nama Sungai Bogowonto. Disebut demikian, mengingat pada masa itu di tepian sungai sering terlihat pendeta (Begawan).Petilasan suci berupa Lingga, Yoni dan Stupa tempat para begawan melakukan upacara dapat dilihat di wilayah Kelurahan Baledono, Kecamatan Loano dan Bagelen. Desa Watukoro sendiri terdapat di muara sungai Bogowonto dan masuk dalam wilayah Kecamatan Purwodadi.Pengembangan Agama Islam di wilayah Purworejo, dilakukan oleh Ki Cakrajaya seorang tukang sadap nira dari Bagelen, murid dari Sunan Kalijogo. Ki Cakrajaya lebih dikenal dengan sebutan Sunan Geseng. Peninggalan Sunan Geseng banyak terdapat di Bagelen dan Loano.Kenthol Bagelen yang merupakan Pasukan Andalan Sutawijaya, tokoh yang kemudian naik tahta menjadi Panembahan Senopati, merupakan dasar pembentukan Kerajaan Islam Mataram. Pada periode berikutnya ketika Sultan Agung berkuasa di Mataram, pasukan dari Bagelen inilah yang memberikan andil besar dalam penyerangan ke Batavia dan termasuk pasukan inti Mataram.Akibat dari Perjanjian Giyanti 1755 yang memisahkan Kerajaan Jawa menjadi 2, yaitu Surakarta dan Yogyakarta, tanah Bagelen-pun menerima dampaknya, dimana tanah Bagelen dibagi menjadi 2 bagian untuk Yogyakarta dan Surakarta, tapi karena tidak jelasnya batas-batas pembagian tersebut, mengakibatkan sengketa yang berkepanjangan.Masa Perang Diponegoro meletus (1825 - 1830) tanah Bagelen menjadi basis perlawanan Pangeran Diponegoro. Melihat adanya pemberontakan oleh Pangeran Diponegoro, maka Jenderal De Kock meminta bantuan pasukan dari Kerajaan Surakarta.Menghadapi ini, Belanda yang dipimpin oleh panglimanya Kolonel Cleerens membangun markas besar garnisun di Kedongkebo tepi Sungai Bogowonto. Perang hebat tidak bisa dihindarkan, Belanda yang dibantu pasukan dari Kerajaan Surakarta yang dipimpin oleh Pangeran Kusumayuda beserta Ngabehi Resodiwiryo berhadapan dengan Pangeran Diponegoro yang dibantu oleh pasukan laskar Rakyat BagelenPaska Perang Diponegoro, Tanah Bagelen dan Tanah Banyumas diminta paksa oleh Belanda. Kemudian Belanda menghadiahkan kepada Ngabehi Resodiwiryo yang berjasa membantu melawan pemberontak, menjadi Penguasa Tanggung dengan gelar Tumenggung Cakrajaya yang selanjutnya diangkat menjadi Bupati (Regent) Kabupaten Purworejo dengan Gelar Cokronegoro. Pelantikan dilakukan di Kedungkebo, markas garnisun Belanda dan yang melantik adalah Kolonel Cleerens.Wilayah Kabupaten Purworejo ketika itu adalah seluas 263 Pal persegi atau sekitar 597 Km persegi, meliputi Kawasan Timur Sungai Jali. Sedangkan wilayah seluas 306 Km persegi di Barat Sungai Jali, merupakan wilayah Kabupaten Semawung (Kutoarjo) dan dipimpin oleh Bupati (Regent) Sawunggaling. Pada perkembangan lebih lanjut, Kedongkebo yang merupakan basis Militer Belanda digabung dengan Brengkelan dan menjadi Purworejo. Sedangkan Tanah Bagelen oleh Pemerintah Kolonial Belanda dijadikan Karesidenan Bagelen dengan Ibu Kota Purworejo.Wilayah Karesidenan Bagelem meliputi, Kabupaten Purworejo, Kabupaten Semawung (Kutoarjo), Kabupaten Kutowinangun, Kabupaten Remo Jatinegara (Karanganyar) dan Kabupaten Urut Sewo atau Kabupaten Ledok atau Kabupaten Wonosobo.Residen Bagelen bertempat tinggal di Bangunan yang sekarang menjadi Kantor Pemerintah Daerah Purworejo atau lebih dikenal dengan nama Kantor OTONOM yang lokasinya di bagian Selatan Alun-alun Purworejo.
NASKAH DIKUTIP DARI HUMAS KAB.PURWOREJO

Selasa, 22 Januari 2008

IBUNDA

Iftitah : IBUNDA


Ibumu adalah
Ibunda darah daginggmu
Tundukkan mukamu
Bungkukkan badanmu
Raih punggung tangan beliau
Ciumlah dalam-dalam
Hiruplah wewangian cintanya
Dan rasukkan ke dalam kalbumu
Agar menjadi jimat bagi rizki
Dan kebahagiaanmu


Tanah air adalah Ibunda alammu
Lepaskan alas kaki keangkuhanmu
Agar setiap pori-pori kulitmu
Menghirup zat kimia kasih sayangnya
Sentuhkan keningmu pada hamparan debu
Reguklah air murni dari kandungan kalbunya
Karena Ibunda tanah airmu itulah pasal pertama setiap kata ilmu dan
Lembar pembangunan hidupmu

Rakyat adalah Ibunda sejarahmu
Rakyat bukan bawahanmu melainkan atasanmu
Jangan kau tengok mereka ke bawah kakimu
Karena justru engkau adalah alas kaki mereka
Yang bertugas melindungi kaki mereka
Dari luka-luka


Rakyat bukan anak buahmu
Yang engkau berhak
Menyuruh-nyuruh dan mengawasi
Rakyat adalah Tuanmu,
Yang digenggaman tangannya terletak hitam putih nasibmu
Di hadapan mata Tuhan

Rakyat adalah
Ibunda yang menyayangimu
Takutlah kepada air matanya, karena
Jika Ibunda menangis karena engkau tusuk perasaanya,
Tuhan akan mengubah peranNya
Dari sang Penabur Kasih Sayang
Menjadi Sang Pengancam,
Sang Penyiksa yang maha dasyat
Ibunda darahmu
Ibunda tanah airmu
Ibunda rakyatmu
Adalah sumber nafkahmu,
Kunci kesejahteraanmu serta mata air kebahagiaan hidupmu

Pejamkanlah mata,
Rasakan kedekat cintanya
Darahnya
Kalau Ibunda membelai rambutmu
Kalau Ibunda mengusap keningmu memijit kakimu
Nikmatilah dengan syukur dan batin yang bersujud
Karena sesungguhnya Allah sendiri
Yang hadir dan maujud
Kalau dari tempat yang jauh ibunda
Kangen kepada engkau,
Dendangkanlah nanyian puji-puji untuk Tuhanmu
Karena setiapbunyi
Kerinduan hatimu adalah
Sebaris lagu cinta Allah kepada segala ciptaanNya
Karena engkau menangis
Ibundamu yang meneteskan air mata
Dan Tuhan yang akan mengusapnya
Kalau engkau bersedih
Ibundamu yang kesakitan
Dan Tuhang menyiapkan hiburan-hiburan

Menangislah banyak-banyak
Untuk Ibundamu
Dan jangan bikin satu kalipun
Ibumu menangis karenamu
Kecuali engkau punya keberanian
Untuk membuat
Tuhan naik pitam kepada hidupmu
Kalau ibundamu menangis,
Para malaikat menjelma menjadi butiran-butiran air matanya
Dan cahaya yang memancar
dari airmata ibunda membuat para malaikat itu silau
dan marah kepadamu
Dan kemarahan para malaikat adalah
kemarahan suci sehingga Allah tidak
melarang mereka tatkala menutup
pintu sorga bagimu
Ibukandungmu adalah
Ibunda kehidupanmu
Jangan sakiti hatinya, karena ibundamu
Akan senantiasa memaafkanmu
Tetapi setiap permaafan ibundamu atas
Setiap kesalahanmu akan digenggam
Erat-erat oleh para malaikat untuk
Mereka usulkan kepada Tuhan agar
Dijadikan kayu bakar nerakamu
Rakyat negerimu adalah
Ibunda sejarahmu
Demi nasibmu sendiri jangan
Pernah injak kepala mereka
Demi keselamatanmu sendiri jangan
Curi makanan mereka
Demi kemaslahatan anak cucumu
Sendiri jangan pernah hisap darah mereka
Jangan pernah rampok tanah mereka
Sebab engkau tidak bisa menang
Atas Ibundamu sendiri
Dan ibundamu tidak pernah ingin mengalahkanmu
Sebab pemerintahmu tidak akan
Bisa menang atas rakyatmu
Sebab rakyatmulah
Ibunda yang melahirkanmu
Serta ia pulalah yang nanti akan
Menguburkanmu sambil menanis,
Karena ia tidak mejadi bahagia
Oleh deritamu
Karena ibu sejarahmu itu
Tidak bergembira oleh kejatuhanmu

Ibundamu,
Tanah airmu,
Rakyatmu
Tak akan pernah bisa engkau kalahkan
Engkau merasa menang sehari semalam
Esok pagi engkau tumbang
Semetara ibundamu,
Tanah airmu, rakyatmu
Tetap tegak di singgasana kemuliaan (Emh)

Selasa, 08 Januari 2008

BERKARYA TERUS TANPA BATAS


Aku bekerja di PT. Dong Joe di bagian"INDONESIA DEVELOPMENT CENTER REBOOK" mulai 2 September 2003, sebuah perusahaan yang memproduksi sepatu Rebook berdiri sekita tahun 1989-an dan merumahkan karyawannya pada bulan Nopember 2006.
Tugasku membuat pola/pattern mengunakan computer dengan software Crispin (khusus untuk membuat pattern sepatu). Softwarenya mahal dulu berkisar Rp. 135 jutaan karena software ini mempunyai kemampuan khusus dari memasukan data dengan cara digitizer, dxf file kemudian di olah/edit menjadi bagian-bagian/komponen/part pattern. Dari part tersebut dapat dipotong menjadi potongan pattern dari kertas, gauge kertas/PVC, file untuk menghitung calculasi/costing, file untuk membuat mold/bordir/print/embos/welder dan lain sebagainya.
Dari pattern tersebut kita tes untuk memotong material, dijahit, dilasting, tempel outsole sehingga menjadi sebuah sepatu. Kalau sepatu tersebut udah conform dari part petern tersebut dibuat pisau untuk digunakan memotong material secara masal/berjumlah banyak dengan mesin cutting. Begitu secara singkat sistim kerja kita.
BERKARYALAH SELAGI KAMU BISA, DAN NIKATILAH KARYAMU BERSAMA ORANGLAIN